Dimana Segala Rasa Kan Terbias...

Sunday, December 10, 2006

Semuanya Indah . . .

6 Desember 2006

oooooOOOooooo

Hm. Akhirnya aku dapat satu kesempatan berharga untuk mengatasi rasa bosanku. Tadi siang aku sudah dihubungi oleh Mas Rahman, seorang teman, suami dari Mbak Wid. Mbak Wid adalah seorang anak kenalan mamaku yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Hari ini aku diajak olehnya untuk magang – itu istilah yang dipakai olehnya – di persiapan pernikahan temannya. Ia bilang bahwa pekerjaan ini akan menyenangkan. “Kamu pasti betah deh, Dek!”, ujarnya lewat telepon. Akupun menerima tawarannya dengan pertimbangan untuk mengatasi rasa bosanku, lagi-lagi. Ya. Aku sedang pusing. Sudah beberapa minggu terakhir kuhabiskan waktu tidurku untuk berpikir. Aku merasa penat dengan apa yang sudah kulalui. Aku butuh suasana baru. Aku ingin penyegaran. Kepalaku hampir pecah sampai telepon berbunyi dan aku berbicara dengan Mas-ku itu.

Setelah meng-“iya”-kan, aku langsung memberitahu Mama, bahwa aku akan menginap di rumah Mbak Wid selama 2 atau 3 hari. Mamaku biasanya tidak menyetujui kepergian anaknya bila harus sampai menginap. Namun anehnya kali ini beliau setuju. Aku pun berjanji untuk tidak merepotkan mereka, karena itu adalah satu-satunya pesan mamaku.

Sekitar pukul 9 malam Mas Rahman menjemputku dengan sepeda motornya. Ia baru pulang dari kantor dan wajahnya terlihat sangat letih. Setelah masuk ke rumahku dan meminum segelas air putih ia mengajakku ke rumahnya.

“Takut kemaleman Ni, kasian Najla”, ujarnya.

Hm. Aku jadi kangen Najla. Keponakanku yang paling lucu. Tapi sangat pintar dan cerdas. Mungkin ini sifat turunan dari orangtuanya yang pintar-pintar dan cerdas-cerdas. Anak berumur 3 tahun yang pintar membaca Iqra sekaligus mahir menggunakan komputer. Ah, sudah tak sabar bertemu dengan wajah mungil anak perempuan itu!

o o o

Angin dingin mendesir di seluruh tubuhku. Ukh, untung aku memakai jaket tebal dan penutup kepala. Perjalanan Depok-Sawangan memakan satu jam lamanya. Angin dingin membuatku sedikit menggigil. Sesekali aku merasakan goncangan keras motor Mas Rahman melewati “polisi tidur” tanpa mengerem. Ia pasti sangat mengantuk, pikirku saat itu. Pekerjaannya pasti melelahkan.

Setelah satu jam lamanya terombang-ambing di atas sepeda motor, sampailah kami di rumahnya yang terletak di suatu perumahan di daerah Sawangan. Rumahnya sepi, tampaknya Mbak Wid dan Najla sudah tidur. Aku sedikit kecewa. Kubuka pintu pagar agar motor Mas Rahman bisa masuk. Mendadak lampu depan rumah menyala serta lampu ruang depan menyala. Sebuah wajah mungil muncul dari balik pintu yang berteriak, “Abi! Abi! Abi sudah pulang!”. Dari suaranya aku sudah tahu bahwa itu adalah Najla. Di belakangnya hadir sosok yang sudah sangat aku kenal.

“Mbak Wid! Najla! Assalammualaikum”,

“Wa’alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh. Najla, ayo salam Tante Ani, masih inget kan sama Tante Ani?”, jawab beliau.

“Abi, Abi, Abi, Abi!”, teriak Najla.

“Iya, nak. Abi sudah pulang nih”, sambut ayahnya, Mas Rahman.

“Abi, abi, abi...”, Najla berteriak-teriak sambil berlari mengitari ruang depan lalu memluk ayahnya. Mas Rahman menyambut pelukannya serta mengangkatnya lalu menggendongnya. Suasana ceria langsung menyergap.

“Kamu udah makan, Ni? Makan dulu gih”, ujar Mbak Wid.

“Udah Mbak, tadi baru aja makan di rumah”

“Hari ini kamu ga usah kerja dulu Ni, biar Mas Rahman aja. Malem ini belum ngedekor apa-apa kok, paling baru beli bahannya aja. Kamu istirahat aja dulu, besok baru bantu-bantu, oke?”

“Oke deh Mbak.. Ani ganti baju dulu deh kalo gitu”

“Di kamar mandi aja tuh”, ujar Mbak Wid sambil menunjuk ke belakang. Aku pun ke belakang. Rumahnya sangat sederhana. Tampak dari kecilnya ruangan hingga tata ruang yang minimalis. Yang tampak beredar dimana-mana adalah buku. Aku baru ingat bahwa Mbak Wid adalah seorang penggemar berat buku bacaan, yang menurun ke anak semata wayangnya, Najla.

oooooOOOooooo

Catatan penulis :

Cerita ini kutulis sekitar setahun yang lalu, tahun 2006. Saat itu aku diberi kesempatan untuk “magang” mendekor ruangan untuk kepentingan resepsi pernikahan dengan konsep nature, alami, dan bertemakan “pematang sawah”. Banyak ilmu yang kuperoleh dari pengalamanku “magang” disini. Mulai dari merangkai bunga, merangkai buah pada janur, mendekor bunga sebagai background, membuat taman buatan, pengaliran air untuk kolam buatan, dll. Sungguh tiga hari yang penuh manfaat. Takkan kulupakan. Terimakasih ya Mbak, Mas, n Najla.

Saat ini Mbak Wid tengah mengandung anaknya yang kedua. Tanpa ada ‘pengurangan kasih sayang’ sedikitpun untuk anak pertamanya, Najla. Mbak Wid, Mas Ra, dan Najla sempat menginap di rumahku yang baru di Bogor (baru pindah) setelah Hari Raya Idul Fitri. Dalam kondisi hamil itu pula Mbak Wid dan Mas Ra membantu aku sekeluarga yang pada saat itu sedang banyak tamu, meskipun kondisi kesehatan keduanya sedang tidak baik, tanpa mengeluh sedikitpun. Sebuah contoh keluarga ideal yang harmonis dan patut dicontoh. Mereka menerapkan sistem “learning by doing” kepada anaknya yang pertama, Najla, sehingga Najla dibebaskan untuk berekspresi dalam berntuk apapun. Senang rasanya melihat anak seumur Najla bertingkah laku alamiah seperti anak-anak – tanpa adanya batasan dalam berekspresi – tidak seperti anak lain pada umumnya.

Berita terakhir yang kuterima dari mereka adalah saat Mbak Wid bercerita mengenai perpustakaan baru di surau. Hm. Cerita yang sangat menggelitik hatiku untuk kembali ke surau... Rindu akan suasana itu...

No comments: